Sebuah Persembahan Karya Pena


Senin, 27 Januari 2014

It's about "Tsunami"

Ada seorang teman bertanya padaku "mengapa kau suka sekali menulis tentang tsunami?"
Hmm, aku hanya tersenyum simpul mendengar pertanyaan itu.
Sebenarnya bukan aku tak ingin menjelaskannya. Tapi, rasa itu begitu sulit aku ungkapkan lewat kata-kata.

Tahukah kau kawan?
Bila disuruh untuk mengulang setiap tulisan tentang tsunami maka aku sanggup melakukannya berulang-ulang. Berapa kali pun kau suruh mengulangnya.
Mungkin terdengar menjenuhkan. Tapi, andai saja kau lihat dengan mata kepalamu bagaimana air bah itu datang melahap bak monster tazmanian...mungkin pertanyaan itu takkan pernah kau ulang-ulang.

Dan tahukah kau kawan?
Mengapa ada banyak orang semakin gila pasca bencana itu?
Karena logika mereka tak sanggup menilai dengan logika.
Bahkan aku pun hampir gila.
Mungkin kedengarannya membingungkan. Namun, cerita itu takkan pernah kutuliskan berulang-ulang bila aku tak pernah berpikir bahwa saat itu kiamat kan datang.
Juga meninggalkan trauma yang mendalam.

Baiklah kawan...
Maafkan bila aku terus mengenang.
Bukan maksud hati untuk larut agar jiwa tak tenang.
Melainkan sekedar mengingatkan...
Bahwa selamat dari bencana itu adalah kesempatan.

Selasa, 14 Januari 2014

Sebuah Kisah Klasik

Fera. Begitulah orang-orang memanggilnya. Dia sahabatku saat di bangku SMP di salah satu sekolah negeri di Banda Aceh. Sejak kelas 1 SMP kami sudah sekelas tapi tak pernah duduk sebangku. Dia ahlinya dalam bidang bahasa Inggris. Setiap mata pelajaran bahasa Inggris, dia begitu antusias mengikuti jam pelajaran. Sementara aku mlongo ngeliatin orang-orang pada ngomong Inggris, encer kayak air, sebab aku nggak ngerti apa yang mereka bicarakan. Soalnya aku anti sih sama pelajaran itu. Mata pelajaran yang paling aku benci itu bahasa Inggris. Nggak tau deh penyebabnya apa? Ribet mungkin, atau dulu guru-guru mata pelajaran itu emang rada-rada kiler sih. Tau deh. Yang jelas waktu itu sekali nggak suka ya nggak suka. Titik nggak pake koma. Tapi terlepas dari itu, akulah juaranya di bidang mata pelajaran yang lain. Sehingga aku dan Fera saling melengkapi satu sama lain.
Aku nggak ingat kapan persisnya kami mulai akrab. Semuanya mengalir begitu saja. Dari sama-sama ikut ekstra kurikuler Palang Merah Remaja, buat PR bareng, nginap bareng, setiap naik kelas selalu ditempatkan di kelas yang sama, sampai akhirnya mau buat band bersama untuk acara perpisahan sekolah. Tapi sayangnya band itu nggak pernah terbentuk dikarenakan nggak ada satu pun dari personilnya yang bisa mainin alat musik. Hihihi....memalukan. :D
Aku sangat sayang padanya. Aku suka memberikan kejutan-kejutan kecil agar bisa melihat dia tersenyum. Kami sering bercerita tentang cowok-cowok yang kami taksir. Mulai dari si A penyiar radio kesukaannya, sampai si B cowok idola sekolah yang menjadi incaran para cewek-cewek ababil yang digosipin jadi pacar aku. Sumpah demi apa? gara-gara tu cowok aku sampai dimusuhin sama cewek-cewek metal di sekolah. Aku pernah dilempari batu kerikil. Karena malas mencari perkara aku abaikan niat busuk mereka walau sebenarnya sakit sih dihujani kerikil yang lumayan besar itu. Semakin aku abaikan semakin semangat pula mereka melempariku dengan batu. hadehh! benar-benar cari perkara cewek-cewek nyebelin itu. tidak hanya itu, mereka juga mencari-cari tau mengenai hubungan aku sama tu cowok dari teman sebangkuku. Lucunya teman sebangkuku ini orangnya usil dan gokil abis. Dia sengaja mengarang-ngarang cerita yang membuat darah cewek-cewek rusuh itu makin mendidih. Hahahaha...betul-betul kelakuan anak-anak remaja kayak di senetron.
Kami memang selalu berbagi untuk hal apapun. Tapi, ada satu hal yang dirahasiakan Fera dariku. Demi menjaga rahasia besar itu dia tidak pernah mengijinkan aku untuk berkunjung ke rumahnya. Ia bilang suatu saat dia pasti akan mengajakku ke rumahnya, tapi tidak untuk saat ini. Aku tidak tau alasan apa yang membuat dia begitu kukuh. Tapi, aku menghormati keputusannya. Yang tampak adalah aku sering menemukan dia menangis tanpa sebab yang jelas. Dan aku yakin air matanya itu jatuh dikarenakan rahasia besarnya itu.
Tiga tahun bersama di bangku SMP. Tiba masa perpisahan kelas yang diadakan di pantai lampuuk. Aku memberikan sebuah kado istimewa untuknya. Satu pack kertas surat yang di dalamnya juga terdapat selembar kertas dengan tulisan berupa kata-kata perpisahan yang aku rangkai untuknya. Hmm, aku memang si tipe galau yang suka mendramatisir keadaan. Mungkin bagi sebagian orang kejadian itu adalah hal yang lumrah. Toh, ditahun ketiga SMA atau saat selesai kuliah nanti kita juga akan mengalami hal serupa. Tapi, bagiku perpisahan itu adalah hal yang paling menyedihkan. Karna kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang yang kita sayangi tak selalu ada. Jadilah aku menulis sepatah dua patah kata dengan bahasa sastraku untuknya. Aku tidak begitu ingat isinya. Karna kejadian itu sudah lama sekali. Yang jelas intinya adalah berupa ungkapan hatiku bahwa aku menganggapnya sahabat terbaikku. Dan aku menyelipkan sebuah lirik lagu milik Sheila on 7 disana "Sebuah Kisah Klasik".
Jabat tanganku, mungkin untuk yang terakhir kali
Kita berbincang tentang memori di masa itu.
Peluk tubuhku, usapkan juga air mataku
Kita terharu seakan tiada bertemu lagi.
Bersenang-senanglah karna hari ini yang kan kita rindukan
Dihari nanti sebuah kisah klasik untuk masa depan
Bersenang-senanglah karna waktu ini yang kan kita banggakan di hari tua
Sampai jumpa kawanku smoga kita selalu
Menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan.
Sejak hari itu kami memang terpisah oleh jarak. Aku masuk di SMU 7 dan Fera di SMU 1. Namun, kami masih sering berkomunikasi lewat telepon rumah atau wartel. Maklum saja di zamanku dulu hp itu tergolong barang mewah. Jadi hanya orang-orang tertentulah yang memakainya. Tentu saja juga barang langka yang tak seperti membeli pisang goreng di zaman kini. Tapi, karna rekening telepon terus membengkak dan setiap hari kena omelan Mamak. Terpaksa aku dan Fera surat-suratan. Tetap ditulis di atas kertas, memakai amplop, tidak pakai prangko karna perantaranya bukan pak pos melainkan tetangga sahabatku yang juga teman organisasiku di Paskibraka di sekolah yang berbaik hati mempererat jalinan silaturrahim kami.
Isi surat itu membuat aku sedih karena ternyata ia menceritakan banyak hal termasuk rahasia besarnya yang selama ini ia tutupi dariku. Ia bilang ia malu jika harus menceritakan hal itu padaku. Aku sesak membaca suratnya, sesekali aku berhenti membaca untuk menyeka air mata yang bandel tak mau tertahan di pelupuk mata.
Tanpa pikir panjang, siang itu sepulang dari sekolah aku meminta teman paskibku itu untuk mengantarkan aku ke rumah Fera. Fera shock melihat kedatanganku. Ia salah tingkah dan tak tau harus bilang apa. Ia malu padaku. Kukatakan bahwa aku sahabatnya. Tidak ada yang perlu ditutup-tutupi karna apa yang dialaminya itu adalah diluar kuasanya. Aku sangat mengerti mengapa ia malu dan wajar bila ia menyimpan rahasia itu dariku.
Sejak saat itu sudah tidak ada lagi yang ia tutup-tutupi dariku. Dan sejak itu pula aku melihat dia lebih sering tersenyum.
Sejak duduk di bangku SMU kami memang jarang bertemu. Hanya sesekali bila kami ada kesempatan dan bila dia punya masalah lalu datang menginap di rumah. Fera pernah mengajakku ke rumah kakaknya di kawasan Lhoknga, Aceh Besar. Suami dari kakaknya Fera itu adalah seorang Tentara. Jadi, mereka tinggal di asrama Tentara. Aku menikmati sekali masa-masa di daerah itu. Karena letaknya yang dekat dengan laut. Sehingga suara gemuruh ombak dan riuh pohon cemara terdengar jelas dari teras depan. Indah sekali...

Tiga tahun di SMU pun berlalu. Dan kami lanjut ke perguruan tinggi. Aku kuliah di pertanian dan sahabatku itu di hukum. Meski aku sudah menemukan sahabat-sahabat baru baik di SMU maupun di bangku kuliah, tapi nama fera tak pernah tercoret dari daftar sahabatku.

Hingga tiba di hari itu. Tanggal 26 Desember 2004. saat bencana itu hampir merengut nyawaku. Sebulan pasca penyembuhanku dari kota Medan setelah peristiwa itu. Aku datang berkunjung ke rumah Fera. Itu pun kulakukan karena firasatku tak enak. Sejak masa penyembuhan sampai akhirnya aku kembali ke tanah kelahirannku, aku terus terbayang-bayang sosok sahabatku itu. Dan ternyata firasatku terjawab saat aku berkunjung ke rumahnya. Benar! Ia juga menjadi salah satu korban peristiwa maha dahsyat itu. Pada saat kejadian ia menginap di rumah kakaknya. Begitu ayahnya memberi keterangan. Aku tak tau harus mengatakan apa. Perasaanku sudah bercampur aduk tak karuan. Karena begitu banyak orang-orang yang aku sayang menjadi korban. Hiks,,,menyedihkan sekali bila ingat peristiwa itu.
Hari-hari pun berlalu begitu cepat. Semua yang pernah aku alami bersama orang-orang yang aku sayangi bagai angin yang datang silih berganti. Tak kusangka kalimat perpisahan yang pernah aku ucap di hari terakhir SMP itu benar-benar terjadi. Seharusnya aku memang tak perlu terkejut. Toh, cepat atau lambat perpisahan itu pasti terjadi. Hanya tinggal menghitung waktu saja. Karena semua yang ada di dunia ini hanyalah titipan. Semua akan kembali padanya tak terkecuali aku.
Biarlah kebersamaan kita selama ini akan menjadi sebuah kisak klasik yang akan terus terukir di dalam hati kita masing-masing.
I Love them ♥